Seperti mereka, Cita-cita patut diperjuangkan!!
Siang itu kampus lebih ramai, seperti pasar yang banyak pengunjung untuk berburu keperluan mereka. Namun, bedanya kini lelaki dan wanita bolak-balik dengan serumpun berkas yang mungkin isinya syarat untuk menjadi mahasiswa, bukan uang untuk membayar sayur yang ditawar.
Sama halnya dengan Nisa, wanita berkerudung dengan setumpuk berkas di pojok kiri dengan kertas kecil yang ia genggam bertuliskan nomor antrian bank. Raut wajahnya begitu berseri-seri sangat nampak. Ekspresinya menunjukan semangat menjadi mahasiswa baru, atau mungkin sebuah rekayasa yang ia buat agar tidak nampak kekhawatiran akan terisolasi dengan syarat yang kampus tetapkan.
Ia masih setia duduk dan menetap diposisinya, menunggu nomor antrian dipanggil. Sementara panas dari matahari masih menyeringai dengan ganasnya, sehingga genangan-genangan air bekas hujan semalam seakan disedot dan dijadikan embun.
Wanita dengan rona wajah yang menjadi pusat perhatian para lelaki itu hanya sendirian, tanpa teman, tanpa keluarga, tanpa ibu, dan juga ayah. Entah karena ia memilih untuk belajar mandiri, atau karena orang tuanya sedang berkerja keras agar bisa membiayai kuliahnya.
“Seratus lima puluh lima”, suara lembut nan anggun itu milik pegawai bank.
“Ehh sudah dipanggil tu”, kata pria berkaca mata yang berada disampingnya, yang duduk dengan tujuan yang sama, yaitu menunggu nomor antriannya dipanggil.
“Ohh iyaa”, jawab Nisa, wanita berkerudung dengan penuh harap di wajahnya.
Pegawai bank sudah tahu mengapa Nisa berada di situ, seperti mereka yang lain, Pasti ingin membayar biaya registrasi awal sebelum mengisi biodata online mahasiswa baru. Wanita berkerudung itu pun tahu berapa nominal yang harus ia tunaikan.
“Ini…200 ribu kan?”, tanya Nisa sambil menyuguhkan dua lembar uang pecahan seratus ribu itu.
“Iyaa, sesuai dengan yang tercantum”
Hanya 10 menit waktu untuk bertatap dengan pegawai bank, selanjutnya memanggil nomor antrian berikut. Ia beranjak dan mengambil bukti pembayaran kemudian keluar dari lingkungan transaksi yang penuh dengan harapan dan doa yang dititip sekaligus bersama uang kepegawai bank.
Berjalan dengan pikiran melayang-layang juga harapan bisa lolos karena kuliah itu penting. Tak ada sapa, tak ada canda, juga seperti berada di hutan, sebab tak ada interaksi selama di jalanan. Tak seorangpun yang Nisa kenal di sekitarnya. Melihat para mahasiswa yang celananya sobek, berambut gondrong, dan bahagia karena sebentar lagi wisuda.
“Sedangkan akuuu..”, gumamnya.
Ia menyudahi pikirannya yang terkontaminasi dengan virus bernama pesimis dan melanjutkan berjalan balik ke kos untuk istrahat. Sebab, lusa ujian seleksi mandiri yang diselenggarakan oleh kampus akan dimulai.
Alaram yang Nisa targetkan pukul 07.00 itu tiba-tiba berdering dengan nada yang agak keras dan tak enak ditelinga, membuatnya terbangun dari mimpinnya.
Matanya sayu, kali ini bukan karna telah ngantuk. Tapi karena tidurnya belum cukup sementara mau tidak mau ia harus bangun. Namun bagi Nisa, bangun jam segini sudah biasa sejak sekolah dulu.
Semua yang diperlukan telah siap. Wanita dengan tinggi badan sekitar 155 cm itu bergegas ke kampus untuk ujian. Sesekali ia melihat jam yang tertancap dipergelangan tangannya. Langkahnya semakin melaju, tak memperdulikan suara-suara yang menurutnya tidak jelas yang sengaja memanggilnya. Tak mengherankan, sebab rona diwajahnya mengundang perhatian.
Nisa menarik nafas panjang kemudian menghembusnya ketika sampai di depan ruang ujian.
“Huuft..”
“Untung saja belum telat”
Tidak ada yang dia pikirkan selain ujian dipagi itu. Tiba-tiba seorang bapak-bapak berkulit sao matang dengan kaca mata mungil yang menancap dihidungnya bersuara keras dimic yang ia genggam.
“5 menit lagi semuanya harus masuk ke ruangan” kata bapak itu dengan nada agak fals, dan tanpa diulang.
Nisa hanya duduk sendirian di depan ruang ujian. Matanya mondar-mandir melihat suasana disekelilingnya, mereka berkelompok-kelompok, si cowok dan cewek, dan para orang tua yang menemani anaknya. Sedangkan Nisa, ia tidak dengan teman atau dengan orang tuanya, hanya berkas yang ia balut dengan map berwarna yang agak tebal.
“Waktunya masuk ruangan”, kata bapak tua yang berada didepan pintu masuk seakan mengundang para petinju untuk naik ke ring.
“Masuk sesuai ruangan yang tercantum dikartu masing-masing”, tambahnya tanpa peduli dengan para peserta yang sinis dengan suara falsnya.
Semua beranjak dan memasuki ruangan. Begitupun dengan Nisa. Hanya tersisa orang tua peserta dan pacar peserta lainnya didepan ruang ujian.
“Waktu yang diberikan dua jam”,” kerjakan dengan baik”, kata seorang wanita yang bertampang dosen itu.
Mereka tak saling sapa, tiba-tiba hening. Fokus mereka telah dicuri oleh lembar soal. Ditambah para pengawas yang memberikan ocehan tentang mekanisme pengisian jawaban.
Tepat pukul 10.15, ujian yang dimulai pukul 08.00 itu telah usai. Semua telah bubar dan balik ke tempat tinggal masing-masing, selanjutnya tinggal menunggu hasil ujian yang akan diumumkan 3 hari pasca ujian itu.
“Hari ini hasil ujian akan diumumkan”, gumam Nisa dengan penuh harap setelah 2 hari menunggu.
Tiap jam pada hari itu, ia mengecek informasi pengumuman. Namun, hasil baru diumumkan saat jarum jam menunjukan pukul sepuluh malam. Tidak ada aktivitas lebih yang ia buat selain bolak-balik mengecek informasi kelulusan.
Tiba-tiba ia mendapatkan informasi bahwa namanya lolos. Dengan rasa bangga ia bersorak dan mengekspresikan layaknya wanita berusia 18 tahun yang menerima kabar sangat baik.
“Wahh..alhamdulillah, tidak sia-sia”, ungkap Nisa dengan sangat gembira saat melihat namanya lolos sebagai mahasiswa jurusan akuntansi itu.
Bahagia, syukur, juga pikiran yang melayang membayangkan profesinya 4 tahun depan. Namun, seakan harapannya retak, bagai tanah yang diguncang gempa hingga terbelah-belah. Ibarat bangunan yang roboh menjadi puing.
“Apa harus ada rasa gelisah ini?” Gumamnya sambil bertanya-tanya dan termenung sendirian dibalik kamar kos yang hanya berukuran tiga kali tiga itu.
“Kukira gelisah telah menjauh dan pergi saat manusia bahagia”, namun… ternyata tidakk!!”
“Apa ini bukan jalan ku??”
Matanya memerah, nampak genangan disudut-sudut mata wanita berparas cantik itu. Ibarat berada diantara samudra yang harus ada keputusan. Bertahan atau tidak! Hanya itu yang ia pikir.
“Haloo… Ayah”, kata nisa kepada ayahnya lewat via telepon.
Bibirnya gemetar, hatinya hancur, impiannya berada diantara, harus diperjuangkan ataukah dikubur sampai nantinya hanya bisa dikenang.
Sang ayah dengan sopan dan lembut bertanya pada putrinya yang sebentar lagi menjadi seorang akuntan menurutnya. Namun tidak bagi Nisa, sebab biaya kuliah melebihi gaji ayahnya yang hanya seorang petani sawah yang siap menggarap saat ditawarkan kerja.
“Kenapa nak..”, tanya ayahnya.
“Aku lulus seleksi mandiri sebagai mahasiswa baru”, ungkap Nisa sebagai kabar bahwa ia telah lulus disalah satu kampus ternama di kota plural ini.
Ayahnya sangat bahagia, sehingga kabar yang Nisa sampaikan diteruskan keIbu Nisa yang saat itu berada didapur. Mereka, bahkan adik-adiknya ikut bahagia mendengar kabar itu.
Namun, Nisa merasa bahwa ia tidak tega jika harus mengatakan biaya kuliahnya yang memang lebih besar dari gaji seorang penggarap sawah. Bahkan lebih besar biaya kuliahnya dari gaji selama dua bulan sebagai penggarap.
“Tapi yahh..”, ungkap Nisa dengan nada agak pelan dan sangat hati-hati.
“Tapi kenapa?”, Ayahnya bertanya dengan rasa penasaran, juga karena rindu sudah sepekan tak saling bincang.
“Biaya kuliah aku mahal..”, Nisa menjawab dengan suara agak tersendak sambil meluapkan air mata yang telah tergenang dikelopak matanya, karena langkahnya harus terhenti diawal.
“Biaya kuliahku 7 juta persemester ayah”
“Aku tahu itu sangat besar bagi keluarga kita”
Ayahnya terdiam mendengar kabar itu. Bahagia yang nampak dari seorang ayah saat mendengar anaknya lulus sebagai calon akuntan, berganti kerut dan prihatin karna biaya kuliah anaknya yang tak sesuai gajinya sebagai buruh tani.
“Ayah…aku masih muda, tahun depan saja aku lanjut kuliah”, ungkap Nisa dengan rasa menyesal kepada kampus yang tak adil dengan persoalan biaya.
“Aku mau bekerja dulu.. kebetulan ada lowongan pekerjaan disini yah”, tambah Nisa meyakinkan ayahnya yang tidak sempat menemukan solusi yang tepat untuknya.
Lewat via telepon yang sedaritadi tehubung, ayahnya meminta maaf ke Nisa karena tak mampu membiayainya saat ini. Nisa hanya kecewa kepada kebijakan kampus. Bukan ayahnya!!.
“Bukan salah ayah, ini hanya karena kebijakan kampus yang tidak sewajarnya saja” tutupnya.
Penulis: Fanli Mandalika