Teror dan pengancaman terhadap FH UGM sebagai penyelenggara diskusi bertema ‘Pemberhentian Presiden merupakan kebebasan akademik’ seperti disadur dari Tempo.co, memperlihatkan bagaimana rezim menjadi Zionis dan seakan ingin berdaulat melampaui pasal 1 ayat 2 UUD 1945.
Pandangan saya terkait persoalan ini, rezim di negara ini kurang lebih mengupayakan agar kepemimpinannya tidak putus di tengah jalan sekalipun dengan cara zionis dan tanpa prinsip demokrasi.
Bahkan dari beberapa literatur yang mendukung bahasan ini, demokrasi hanya sebuah dogma yang isinya para oportunis. Demokrasi di negara ini menjadi tabu. Pada dasarnya demokrasi dimintakan untuk menjawab bagaimana kebebasan itu menjadi hak warga negara dalam cakupan demokrasi. Namun setelah rezim demokrasi itu muncul, demokrasi hanya sebagai traksi agar tatanan lama dan totalitarianisme lenyap mengikuti keinginan masyarakat. Setelah itu, kita baru akan menyadari bahwa dalam demokrasi masih bisa ditemukan kekuasaan berdaulat. Kekuasaan yang tidak ingin dirobohkan meski hanya sekedar gagasan akademis. Bahkan kekuasaan berdaulat dalam tatanan demokrasi mampu menganulir keadaan normal menjadi darurat.
Kita ingat pada beberapa waktu lalu saat hadirnya buku Jokowi Undercover yang ditulis oleh Bambang Tri Mulyono, bagaimana rezim ini menanggapi? Bahkan buku itu dianggap bertentangan dengan kepemimpinan jokowi sebagai presiden maupun pribadi sebelum buku itu dipastikan ilmiah oleh akademisi. Bambang Tri ditangkap dan tidak ada kebebasan mengemukakan pendapat bahwa buku itu layak untuk dikonsumsi alurnya. Jadi sebenarnya rezim ini tengah mengupayakan bagaimana supaya mereka bisa sampai pada penghujung kepemimpinan dan tidak ingin siapapun berargumen tentang ketidak absahan pimpinan negara.
Apa kekhawatiran yang akan muncul dengan kondisi negara yang sedemikian rumit semacam ini? Dimana mempersoalkan Res Publika adalah ancaman bagi rezim demokrasi saat ini. Kita hanya akan sadar bahwa setelah ketidakpastian hukum muncul, ketidakadilanpun ikut menyusuri masyarakat yang katakanlah rentan dengan rentetan tuntutan.
Semoga Pak Jokowi baca ini dan setidaknya paham bahwa keniscayaan demokrasi tidak bisa dibatalkan dengan ancaman kekuasaan berdaulat sekalipun bisa tanpa prinsip demokrasi. Atas nama rakyat kita bersuara dan menanti regulasi dengan segala bentuk kepastian di negeri ini.
***
Fanli Mandalika
Bolmong Selatan, 31 Mei 2020