Alur himbauan pemerintah dan sikap masyarakat



Penulis: Fanli Mandalika

Meluasnya wabah virus corona atau Covid-19 secara serentak menggerakan pemerintah dan berbagai institusi dalam mensinyalir gerak sosial masyarakat. Seperti halnya menginformasikan bahwa penyebaran virus corona melalui kontak fisik antara pengidap/orang yang dinyatakan positif Covid-19 dengan orang yang berada di sekitarnya. Lewat hal tersebut, berbagai upaya telah dilakukan. Semisal himbauan pembatasan sosial (sosial distancing), work from home, dan berbagai istilah-istilah yang muncul akibat kedaruratan.

Kita melihat itikad baik dari pemerintah dalam konteks pencegahan. Pemerintah dengan upayanya menggerakan sektor keamanan negara guna meminimalisir merebaknya dampak Covid-19. Berbagai tagar himbauan tersebar di media-media massa maupun media sosial. Itikad baik itu kita bisa baca secara verbal dari berbagai instansi pemerintahan, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Akan tetapi upaya semacam itu tidak akan berjalan lancar. Masyarakat akan dengan leluasanya beraktivitas, akan terlihat semacam tidak ada ancaman eksternal yang mengincar biologis seperti Covid-19 ini. Meski pemerintah dengan tegasnya, hal tersebut akan dianggap acuh oleh masyarakat. Hanya akan menjadi paradoksal dalam konteks negara, pemerintah dan masyarakat.

Ketika kita menganalogikan, seumpama panglima tempur dengan gagah mengajak prajuritnya untuk perang, di satu sisi mereka tak dibekali peralatan perang. Demikian negara, pemerintah, dan masyarakat saat ini. Masyarakat tidak memiliki jaminan untuk tetap berdiam diri di rumah. Tidak ada jaminan beberapa hari, minggu, bulan, kepada masyarakat untuk tetap siap di rumah ketika pemerintah mengeluarkan maklumat ini dan itu.

Baca Juga: DPR RI Opportunis yang Menyusup

Fenomena semacam inilah yang menangguhkan kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah. Menangguhkan kepatuhan masyarakat terhadap aturan. Melihat negara yang berada dalam kondisi yang abnormal, kita akan saling menerjemah: antara pemerintah kepada masyatakat dan masyarakat kepada pemerintah. Hasil konklusi inilah yang sebenarnya kita lihat dalam fenomena berbangsa dan bernegara hari ini. Itu mutlak sebagai olahan rasionalitas perindividu dalam melihat siapa lawan bicaranya. Pemerintah melihat masyarakat sebagai aset negara, sekaligus sebagai konklusi keterpurukan. Sebaliknya masyarakat, melihat pemerintah sebagai pengasuh minoritas maupun mayoritas dalam masyarakat, sekaligus sebagai nihilis.

BACA JUGA:  Demokrasi dan Teror Kebebasan

Konteks bernegara semacam ini yang harusnya diupayakan agar tidak terjadi. Fenomena yang dijadikan normal dalam negara dan abnormal dalam prinsip egaliter. Covid-19 akan menjadi alasan terancamnya kesehatan masyarakat sehingga mereka berdiam diri di rumah, juga akan menjadi alasan masyarakat untuk survival dalam bertahan hidup. Bekerja keras di luar rumah atau di tempat ramai dengan potensi terinfeksi virus cukup besar.

Kondisi ini merupakan isyarat penangguhan kepatuhan masyarakat kepada pemerintah sebab tidak adanya jaminan logistik untuk bertahan hidup kedepan ketika semua harus dipaksa untuk berdiam diri di rumah.

Baca Juga: Mengintip Pikiran Pemimpin

Saya mendengar pendapat Haris Azhar terkait indonesia yang tidak mengambil keputusan memberlakukan lockdown sebab ingin menghindar dari tanggung jawab kalau nanti ada masyarakat yang minta logistik jika selama dua minggu diinstruksikan untuk diam dirumah. Dan saya melihat hal tersebut sebagai determinan yang terjadi ketika pemerintah menerapkan lockdown terlepas dari konteks menaati hukum indonesia bahwa tidak dikenal istilah lockdown.

Sekian..

Leave a Comment